Breaking News

Pena Dari Bulu Angsa Ajaib

Pena Dari Bulu Angsa Ajaib

 Cerpen Karangan: 
Kategori: Cerpen Dongeng (Cerita Rakyat)Cerpen Fantasi (Fiksi)Cerpen Penyesalan
Lolos moderasi pada: 10 September 2015

Karmela, seorang anak yang sangat senang menulis. Ia begitu riang tiap kali ia guratkan ujung penanya yang runcing itu ke permukaan kertas. Tiap guratannya ia bentuk menjadi huruf per huruf dan ia susun hingga menjadi sebuah kalimat, bahkan sebuah paragraf. Kesenangannya menulis ia dapatkan dari Ayahnya. Ayah Karmela adalah seorang penulis ulung yang telah menulis di banyak kertas. Ayahnya adalah orang yang paling terkenal di desanya.

 Semua orang desa tahu siapa Ayah Karmela. Pria kurus dengan kumis dan kacamata yang hampir sama tebalnya. Pak Julis, begitu biasanya mereka menyapanya. Entah kenapa warga desa senang memanggil beliau dengan sebutan Pak Julis, padahal namanya bukanlah Julis, melainkan Deri. Mungkin panggilan Julis itu berasal dari kepanjangan ‘juru tulis’ yang disingkat menjadi ‘Julis’. Entahlah, tapi yang jelas nama itu sudah lama melekat di dalam diri Ayah Karmela.

Sesuai dengan panggilannya, Ayah Karmela adalah seorang juru tulis di desanya. Lebih tepatnya juru tulis dalam hal surat menyurat. Banyak orang yang bisa menulis, tapi hanya sedikit orang yang bisa membuat orang lain ingin selalu membaca dengan tulisannya.
“Ingatlah, nak. Bila kamu menulis, maka menulislah dengan hati yang jujur. Niscaya orang-orang akan senang saat membaca apa yang kamu tulis.” Begitulah pesan yang selalu beliau ucapkan tiap kali sedang mengajari Karmela menulis. Dan Karmela selalu saja tersenyum tiap kali menanggapi kalimat itu. Walaupun sebenarnya Karmela belum mengerti maksud dari ucapan Ayahnya itu.

Kini Karmela sudah berusia 9 tahun dan ia masih senang menulis. Banyak hal yang telah Karmela tulis. Di bukunya, Karmela menuliskan banyak cerita tentang dirinya dan Ayahnya, bahkan tak jarang Karmela juga menulis surat untuk Ibunya yang telah lebih dulu menghadap sang Khalik saat baru melahirkan dirinya. Ia percaya bila Ibunya dapat membaca suratnya dari surga, walaupun ia tak pernah mengirimkannya ke surga. Dan Karmela sangat senang bila sudah menulis di belakang rumahnya.

Di sana ada sebuah pohon yang rindang dengan batangnya yang begitu tebal dan berwarna cokelat gelap. Karmela selalu menyempatkan waktu untuk menulis di bawah pohon itu. Menyandarkan tubuhnya ke batang pohon yang tebal nan kokoh itu. Karmela sangat senang menulis di sana karena di sana selalu ada teman yang menemaninya. Teman yang selalu menjaga dan mengamatinya saat ia sedang menulis. Dan temannya itu adalah seekor angsa putih.

Angsa putih itu tak bisa bernyanyi, tak bisa bicara, dan juga tak bisa bersiul. Tapi Karmela begitu menyayanginya. Angsa putih itu selalu saja datang tiap kali Karmela duduk di bawah pohon besar yang rindang itu. Hewan cantik itu akan datang menghampirinya dan diam di sampingnya saat ia sudah membuka bukunya dan mulai mengguratkan penanya di permukaan kertasnya. Angsa itu hanya akan mengamati Karmela dari dekat tanpa mengeluarkan suara sedikitpun dan angsa itu akan pergi saat Karmela juga pergi. Walau angsa itu tak bisa bersiul apalagi berbicara, tapi Karmela sangat senang dengan keberadaan angsa itu yang selalu menemaninya. Karmela memang hanya butuh seorang teman yang selalu ada di sisinya. 

Ayah Karmela selalu berangkat bekerja sehabis mengantarkan Karmela ke sekolah dan baru pulang saat adzan Isya berkumandang. Sepanjang hari Karmela selalu saja duduk di bawah pohon yang ada di belakang rumahnya untuk menulis sambil menunggu kepulangan Ayahnya. Namun, kesepian Karmela akhirnya enyah juga semenjak angsa putih yang cantik itu datang menemaninya. Angsa itu terlihat putih dan bersih, bahkan ia nampak bercahaya seperti malaikat yang dikirim Tuhan dari surga saat matahari menyinarinya. Angsa itu akan terihat cantik saat ia mengepakkan kedua sayapnya ke udara dan menegakkan lehernya tinggi-tinggi. Maka saat itulah Karmela akan tersenyum lebar sambil menuliskan banyak kisah tentang angsa itu di dalam bukunya. Bahkan ia memberinya sebuah nama. 

“Hai, angsa yang cantik. Siapa namamu? Hmmm… sepertinya kamu tak punya nama, ya? Baiklah, bagaimana bila sekarang ini kunamai dirimu, Viola.” Maka sejak saat itulah Karmela selalu memanggil angsa itu dengan sebutan Viola.

  Karmela sendiri tak tahu apa arti nama Viola itu, tapi kecantikan nama Viola setidaknya bisa mewakili kecantikan angsa itu. Pertemanan Karmela dan Viola terus terjalin hingga Karmela kini telah menginjak usia 12 tahun. Di usianya sekarang ini Karmela masih melakukan banyak hal yang sama. Ia masih suka menulis di bawah pohon rindang yang ada di belakang rumahnya dan ia juga masih suka berbicara kepada Viola. Karmela Tahu bila angsa memang tak bisa bicara, tapi ia yakin bila angsa bisa memahami dan mengerti apa yang dibicarakan oleh manusia. Apalagi untuk seekor angsa yang sudah lama menjalin hubungan dengan manusia, maka angsa itu akan bisa mengerti isi hati manusia. Seperti Karmela dan Viola saat ini.

 

Sore itu, Karmela berjalan menuju pohon rindang yang ada di belakang rumahnya dengan langkah yang teramat berat. Karmela menjatuhkan dirinya saat ia sudah sampai di bawah pohon yang rindang itu. Hari ini Karmela tak seperti biasanya. Biasanya Karmela akan langsung membuka tasnya dan mengambil buku serta penanya untuk langsung menulis, tapi hari ini berbeda. Karmela tak menyentuh tasnya sedikitpun. Ia membiarkan tasnya terus menempel di punggungnya dan menjadikannya bantalan untuknya bersandar di batang pohon.

Wajah karmela menekuk dan air matanya terus berlinang. Ia menangis, namun tak tersedu-sedu. Ia menangis teramat tenang tanpa ada suara tangisan sedikitpun yang terdengar. Di sampingnya, angsa putih yang ia beri nama Viola terdiam seolah-olah sedang mengamati dirinya. Mata bulat yang berwarna hitam pekat milik angsa itu terus mengamati Karmela yang sedang menangis. 

“Viola. Mulai hari ini aku tak lagi dapat menulis. Penaku telah dirusak oleh temanku.” Seraya tersedu-sedu Karmela menunjukkan penanya yang ada di genggaman tangannya yang telah terbelah dua kepada Viola.
“Aku terlanjur menyayangi pena ini seperti aku menyayangimu. Aku tak mungkin bisa menulis lagi tanpa pena ini. Lagi pula di desa ini tak ada yang menjual pena atau semacamnya. Lalu, aku harus bagaimana, Viola?” Karmela masih terus menangis sambil terus mengadukan semua kegundahannya kepada Viola. 

Desa tempat Karmela tinggal memang desa yang sangat tertinggal. Untuk membeli alat tulis saja mereka harus menyeberangi sungai dengan melalui sebuah jembatan yang terbuat dari bambu. Itu pun jaraknya berpuluh-puluh kilometer. Karmela adalah anak yang tak ingin merepotkan orangtuanya. Tak mungkin ia meminta Ayahnya untuk pergi menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer dengan menggoes sebuah sepeda ontel hanya demi membeli sebuah pena. Ia tak ingin menjadi seperti Malin Kundang yang sudah dicap sebagai anak durhaka. 

Waakkk!!! Tiba-tiba saja Viola seperti sedang berteriak. Suaranya terdengar seperti terompet di tahun baru. Nyaring dan menusuk gendang telinga. Viola berteriak hingga berkali-kali mengepakkan kedua sayapnya. Tidak, ia tak ingin terbang. Ia seperti sedang melakukan sesuatu, semacam berbicara tapi dalam bahasanya. Karmela yang tak mengerti apa makna dari teriakan dan suara-suara Viola itu hanya bisa menatap Viola heran bercampur bingung. Bahkan ia lupa dengan tangisannya.

“Kau sedang apa, Viola? Apa kau sedang bernyanyi?” tanya karmela dengan sebuah tatapan bingung. 

Viola masih mengeluarkan suaranya yang mirip terompet tahun baru itu sambil terus mengepak-ngepakkan kedua sayapnya ke udara. Lalu, beberapa saat kemudian Viola mendekati Karmela dan ia merentangkan sebelah sayapnya dan menaruhnya tepat di hadapan Karmela. Karmela sempat tertegun sejenak karena ia tak tahu sedang apa dan ingin apa Viola ini. Namun, angsa putih itu terus saja menggerak-gerakkan sebelah sayapnya itu di hadapan Karmela. Ia seperti meminta sesuatu kepada Karmela. Karmela yang awalnya tak mengerti maksud dari angsa putih itu perlahan seperti mendapatkan sesuatu. Karmela seperti dapat mengerti maksud dari angsa putih itu. Entah, bagaimana caranya tapi ia seperti memahami keinginan angsa putih itu. Mungkin inilah yang disebut ikatan batin. 

 “Kamu mau aku mencabut bulumu yang putih dan cantik ini?” tanya Karmela meragu.
Waakk!!! Sekali lagi angsa itu bersuara keras seperti sebuah terompet.
“Baiklah, jika itu maumu maka akan ku lakukan.”

Tanpa muncul rasa penasaran lebih, dengan lugunya Karmela mencabut satu buah bulu yang ada di sayap angsa itu. Hanya satu buah sebelum akhirnya angsa itu kembali menarik sayapnya.
Waakk!!! Dan sekali lagi angsa itu bersuara keras sebelum akhirnya ia pergi dan menghilang dari pandangan Karmela. Saat angsa itu pergi, Karmela hanya bisa memandangi penuh tanya bulu angsa yang kini ada di tangannya. “Untuk apa aku mencabuti ini?” batinnya heran sebelum akhirnya ia menyimpan bulu angsa itu ke dalam tasnya.

“Hai, anakku, Karmela. Mengapa kamu bermuram durja seperti ini? Apa kamu sudah bosan dengan kegiatan menulis?”
“Tidak, yah. Aku hanya sedang sedih.”
“Ceritalah pada Ayah.”
“Tidak perlu, Ayah. Ayah cukup membaca kesedihanku ini melalui tulisanku saja.”
“Baiklah, jika itu maumu.” 

Di bawah pohon yang rindang itu Karmela tengah menuangkan tentang kesedihannya ke dalam bukunya melalui tulisan-tulisannya. Ia sedih karena sudah lama ia tak lagi melihat Viola, angsa putih yang biasanya selalu menemaninya saat ia menulis di bawah pohon ini. Sudah dua bulan lamanya Karmela tak lagi melihat angsa putih itu. Tepatnya setelah ia mencabut bulu angsa itu. “Apa jangan-jangan Viola marah padaku?” Batinnya yang selalu saja bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. 

 

“Hai, Karmela. Apa kamu pernah mendengar tentang sebuah dongeng di desa ini?”
“Dongeng apa itu, Ayah?” Karmela menghentikan kegiatan menulisnya dan ia memalingkan wajahnya ke Ayahnya dengan raut wajah penuh tanya.
“Dongeng tentang seekor angsa.” Jawab Ayahnya sembari tersenyum simpul, namun tak terlihat karena tertutup oleh kumisnya yang tebal.
Kedua alis Karmela pun saling bertemu karena keningnya yang mengerut. “Ceritakanlah Ayah.” Pintanya. 

Lalu, Ayahnya pun mulai menceritakan tentang sebuah dongeng turun temurun yang ada di desa ini tentang seekor angsa ajaib. Angsa yang hanya muncul ribuan tahun sekali. Angsa yang memiliki kekuatan, yaitu bisa mengerti dan merasakan perasaan seorang manusia. Penduduk desa meyakini bila seorang manusia memiliki hati yang bersih dan tulus maka manusia itu bisa berjumpa dengan angsa ajaib itu. Dan ketika manusia itu sudah begitu dekat dengan angsa itu maka angsa itu akan memberikan sehelai bulunya untuk dicabut oleh manusia itu. Dan dalam waktu semalam bulu yang dicabut itu akan berubah menjadi sebuah benda yang paling diinginkan oleh manusia yang telah mencabut bulunya. 

Karmela sempat tertegun sejenak saat mendengar cerita dari Ayahnya. Karmela sempat mengalihkan pandangannya ke sebuah pena yang kini tengah digenggamnya. Sebuah pena yang ia temukan di dalam tasnya sehari setelah ia mencabuti bulu Viola. Sebuah pena yang ia pikir hadiah dari Ayahnya.
“Lalu apa yang akan terjadi pada angsa itu setelah bulunya dicabut, yah?”
“Angsa itu akan mati.” 

Karmela kembali tertegun. Ia kembali mengalihkan pandangannya ke penanya dan kemudian mulai menggenggam penanya erat-erat. Perlahan Karmela mulai menitikkan air matanya dan isak tangisnya pun pecah kala itu. Karmela menangis karena ia begitu menyesali kepergian Viola. Andai ia tahu bila Viola akan pergi untuk selamanya, ia tak akan mencabut bulunya walau hanya sehelai. Karena baginya Viola adalah teman yang tak dapat ditukar dengan semahal apapun benda itu.

Menyadari anaknya menangis, Ayah Karmela seketika memeluk Karmela dengan kencangnya. Tangis Karmela makin pecah seiring tenggelamnya Karmela di dalam dekapan Ayahnya.
“Sudahlah, Karmela. Janganlah kamu menangis. Ini hanya sebuah dongeng. Bisakah kamu percayai itu?” 
 

 Sekian

Tidak ada komentar