Breaking News

Si Pahit Lidah (Rawa Batu Menangis)

Si Pahit Lidah (Rawa Batu Menangis)

Cerpen Karangan: 
Kategori: Cerpen Dongeng (Cerita Rakyat)
Lolos moderasi pada: 31 March 2016

Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang Raja dengan Permaisuri-nya yang dikaruniai seorang putri yang sangat cantik nan anggun, rambutnya selalu terurai hitam panjang, sang Putri sangat suka mengenakan bando dari rangkain bunga. Setiap hari ia selalu membuatnya sendiri terkadang pula ketika sang Putri sedang sibuk, dayang-dayangnya yang merangkaikan bunga-bunga itu menjadi bando. 

Pada suatu hari sang Putri mendengar kabar tentang seorang Ratu di negeri seberang yang melangsungkan acara pernikahannya dengan mengenakan rangkaian bunga teratai ungu yang dipadukan dengan bunga anggrek ungu yang dikenakan di kepalanya. Sang putri pun tertarik dengan rangkaian bunga Ratu di negeri seberang itu. Raja yang selalu memanjakan putrinya itu pun tak kuasa menolak permintaan putri tunggalnya itu. Raja pun dengan sendirinya datang ke negeri seberang menemui sang Ratu yang baru kemarin melangsungkan pernikahan itu. Sayangnya sang Ratu menolak memberikan rangkaian bunga itu meskipun Raja bersedia membayar berapa pun yang Ratu minta. 

“Maafkan saya Raja, saya tahu putrimu sangat suka dengan rangkain bunga, seperti apa pun rangkain bunga yang putrimu minta akan ku berikan khusus padanya. Tapi tidak untuk yang satu ini,” ujar Ratu. “Saya bisa mengerti, lagi pula rangkaian bunga itu yang engkau kenakan di pernikahanmu tentunya sangat berharga bagimu,” jawab Raja.
“Selain karena itu, engkau tentu tahu bunga-bunga ini sangat sulit didapat. Aku pun mendapatkan dari seorang pengembara, ia datang kemari 3 hari sebelum pernikahanku. Dia kelaparan, aku memberinya sedikit makanan dan bekal untuknya kembali mengembara, namun ia kembali datang ke istana pada dini hari di hari pernikahanku, ia memberiku rangkaian bunga ini dan berpesan ini khusus untukku.” ucap Ratu. 

“Siapa pengembara itu?” tanya Raja.
“Dia tidak menyebutkan namanya, tapi yang ku tahu ia punya sembrani, tentu raja tahu bukan, tidak sembarang orang bisa mengendalikan sembrani,” ujar Ratu.
“Baiklah Ratu terima kasih, maaf telah mengganggu,” ucap Raja.
Raja pun kembali ke istananya dan menyampaikan kepada sang Putri apa yang Ratu katakan, namun sang putri tetap tidak mau tahu ia hanya mau rangkaian bunga itu. Permaisuri pun mengusulkan agar mengadakan sayembara dengan imbalan akan dikabulkan satu permintaan sang pemenang sayembara. Raja pun menyetujuinya dan yang akan menilai rangkaian bunga itu adalah sang Putri sendiri. Hingga 3 bulan, belum ada seorang pun yang memenangkan sayembara itu. Sang Putri pun murung dan tak mau makan. Hingga suatu hari datang seorang pengembara dengan menuntun kuda sembraninya ke istana. Ia seorang pemuda tampan dengan pedang di punggungnya, ia menjadi pusat perhatian. Sang Raja pun mempersilahkan si pengembara itu memasuki istananya, Raja menjamunya dengan baik.

 Raja pun kembali ke istananya dan menyampaikan kepada sang Putri apa yang Ratu katakan, namun sang putri tetap tidak mau tahu ia hanya mau rangkaian bunga itu. Permaisuri pun mengusulkan agar mengadakan sayembara dengan imbalan akan dikabulkan satu permintaan sang pemenang sayembara. Raja pun menyetujuinya dan yang akan menilai rangkaian bunga itu adalah sang Putri sendiri. Hingga 3 bulan, belum ada seorang pun yang memenangkan sayembara itu. Sang Putri pun murung dan tak mau makan. Hingga suatu hari datang seorang pengembara dengan menuntun kuda sembraninya ke istana. Ia seorang pemuda tampan dengan pedang di punggungnya, ia menjadi pusat perhatian. Sang Raja pun mempersilahkan si pengembara itu memasuki istananya, Raja menjamunya dengan baik.

Sang Pengembara pun menjelaskan maksud kedatangannya untuk mengikuti sayembara. Raja pun memanggil sang Putri yang mengurung diri di kamar. Sang Pengembara pun tercengang melihat sang Putri yang sedang melangkah menghampirinya di salembo. Sejenak sang Putri melirik ke arah sang Pengembara yang sedari tadi duduk menatapnya. Raja pun menyampaikan pada sang Putri maksud ia memanggilnya. 

“Benarkah Ayah, mana bunga itu?” tanya Putri.
“Kau tanyakanlah sendiri pada pemuda yang ada di hadapanmu sekarang putriku,” ujar Raja.
“Tuan, mana bungamu?” tanya Putri.
“Sesuai janjimu kan putri, kau akan mengabulkan satu permintaan bagi pemenang sayembara,” ucap Pengembara.
“Tentu saja tuan pengembara.” jawab Putri. Sang Pengembara pun memberikan rangkaian bunga yang bahkan lebih indah dari bunga milik sang Ratu di negeri seberang itu. Sang Putri pun langsung menerima bunga itu. Wajahnya nampak semakin cantik dengan rangkaian bunga itu yang langsung ia kenakan di kepalanya. 

“Ini indah sekali, bahkan lebih indah dari milik sang Ratu,” ujar Putri.
“Ini lebih dari istimewa untukmu tuan Putri,” jawab Pengembara.
“Apa permintaanmu tuan?” tanya Putri.
“Aku ingin meminangmu tuan Putri,” jawab Pengembara.
“Apa?! lancang sekali kau, kau pikir kau siapa beraninya meminangku?” ucap Putri.
Mendengar kalimat sang Putri, si pengembara pun mulai agak marah, sang penasihat yang melihat raut wajah sang pengembara dari sebwrang salembo pun segera menghampiri Raja dan Permaisuri dan membisikkan sesuatu tentang si pengembara itu. 

“Putriku, kau tidak boleh seperti itu,” ucap Permaisuri.
“Kau harus menepati janjimu, itu permintaannya, ayolah putriku,” bujuk Raja.
“Tidak Ayahanda, Ibunda, aku tidak mau menikah dengan kaum seperti dia, menjijikkan!” ucap Putri.
“Tajam sekali ucapanmu Putri, sombong!” ucap pengembara. 

“Putriku, jangan buat dia marah!” ucap Permaisuri. “Harusnya kau sadar diri, kau bukan pangeran ataupun keluarga dari bangsawan sedangkan aku? aku adalah sang putri!” ujar Putri.
“Wajahmu cantik putri, tapi sayang ucapanmu tajam seperti duri, hatimu pun sekeras batu, kau tak mau peduli dengan kaum sepertiku. Kau tak pantas menjadi pemimpin negeri ini.” ucap Pengembara. Sang Putri pun hanya memalingkan wajah. “Dasar batu!” ucap Pengembara. Sang Pengembara pun berlalu pergi, tiba-tiba cuaca menjadi sangat mendung, petir pun menggelegar habat dan sang Putri perlahan tubuhnya mulai tidak bisa digerakan dan membatu. 

“Ayahanda, ibunda… apa yang terjadi padaku?” ucap Putri.
“Putriku..” ucap Raja dan Permaisuri. 

Sang putri akhirnya berubah menjadi patung batu akibat kutukan si pengembara itu. Patung tuan Putri itu selalu mengeluarkan air dari matanya seperti seseorang yang menangis. Halaman di sekitar salembo pun menjadi banjir dan rangkaian bunga yang dikenakan sang Putri tumbuh subur semakin banyak. Karena volume air semakin banyak akhirnya menjelma menjadi rawa dan dijuluki, “Rawa Batu Menangis” 

SELESAI 

Tidak ada komentar