Bandar Narkoba di Amerika, Motivator di Indonesia
“Menurut saya waktu itu, pakai narkoba adalah tindakan paling keren yang pernah saya lakukan seumur hidup”
Langit cerah menyambut kedatangan pesawat Singapore Airlines di landasan pacu Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Pesawat jenis boeing 777-300 ER itu baru saja tiba dari Los Angeles, Amerika Serikat. Seorang pria berperawakan kecil duduk di barisan paling belakang. Di kala penumpang lain bergegas keluar, sedikit pun ia belum beranjak dari kursi. Sudah 24 tahun menetap di negeri paman sam, seharusnya Howard Kam gembira karena bisa kembali ke kampung halamannya. Namun lagi-lagi ia memandang ke arah jendela dengan tatapan sendu. Meski matahari begitu terik, ada awan gelap menyelimuti hati Howard.
Pria yang lebih dikenal dengan nama Michael Howard tidak melakukan perjalanan seorang diri. Ia diapit oleh dua pria bule berperawakan tinggi besar. Mereka merupakan aparat keamanan dari U.S. Marshals yang ditugaskan untuk memastikan Howard sampai di Indonesia. Howard bukanlah penumpang biasa. Di balik jaket kulit hitam yang ia kenakan, kedua tangannya dibelenggu borgol berwarna perak. Jaket itu sekaligus menutupi tato disekujur lengan Howard. Kedatangannya kali ini tidak pernah ia rencanakan. Howard diusir dari Amerika Serikat oleh pengadilan karena tindakan kriminal yang sudah sangat keterlaluan. Penegak hukum di Amerika enggan mengampuni dosa Howard dan menjatuhkan hukuman deportasi. Sehingga Howard tidak lagi diizinkan untuk kembali ke negara adidaya itu.
“Orang lain ingin banget ke Amerika dan tinggal di sana. Sampai bela-belain jadi imigran gelap. Saya udah di situ malah harus dideportasi. Saya nggak hanya dipenjara tapi kehilangan status di Amerika. Seumur hidup pun saya nggak akan bisa kembali ke Amerika. Itu penyesalan saya,” kata Howard kepada SHIOULAR saat ditemui beberapa waktu lalu.
Howard dibesarkan di tengah keluarga dengan disiplin dan keras. Sang ayah tak bisa terima jika Howard melakukan sedikit pun kesalahan. Howard memiliki seorang adik perempuan. Namun ia lebih sering menjadi bulan-bulanan kemarahan Ayahnya. Ayah Howard tak akan segan menghukum dan memukulnya jika ia berbuat nakal apalagi membangkang.
Itulah mengapa Howard tak bisa menolak ketika ia dikirimkan ke sebuah sekolah asrama di Kota Batu, Jawa Timur. Meski dalam hati ia sangat keberatan. Apalagi setelah satu tahun Howard tak pernah sekalipun dikunjungi. Ia begitu iri dengan teman sebayanya. Orang tua mereka bahkan rela terbang jauh hanya untuk bercengkerama dengan anaknya.
Geng ibarat rumah pertama buat saya, bukan keluarga”
Michael Howard, mantan gangster dan bandar narkoba di Amerika
Bukan tanpa alasan orang tua Howard mengirimkan anaknya ke asrama. Mereka ingin agar Howard dapat tumbuh menjadi anak sulung yang kuat dan mandiri. Namun Howard kecil yang usianya belum genap 10 tahun belum bisa memahami bentuk kasih sayang orang tua yang tak biasa. Lambat laun tumbuh perasaan bahwa Howard dibuang dan tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya. Pemikiran itu ia terus tumbuh hingga Howard diboyong keluarganya untuk pindah ke San Fransisco.
“Saya sudah terlanjur berpikir negatif kepada orang tua. Mereka sangat sibuk mengurus bisnis keluarga jadi tidak ada waktu untuk anaknya. Begitu pula ketika saya pindah ke Amerika tidak banyak yang berubah. Tetap aja saya merasa terbuang dan kesepian,” ujar Howard.
Di Amerika, nasibnya sama saja. Orang tuanya kembali mendaftarkannya di sekolah bersistem asrama. Kali ini Howard bersikeras menolak. Hasilnya tidak sia-sia, Howard dimasukan ke sekolah biasa di Parkside Middle School. Namun benih pemberontakan sudah terlanjur tumbuh. Waktunya di sekolah Howard gunakan untuk menunjukan jati diri. Ia merasa sebagai remaja hebat dan tak terkalahkan. Akibat emosi yang menggebu, bercandaan sepele berubah menjadi adu jotos. Yang menjadi korban ialah teman sebangkunya. Ia terluka sehingga harus dirawat di rumah sakit. Karena cedera serius, di usianya menuju 13 tahun, Howard harus menanggung tuduhan penganiayaan sehingga ia harus dipulangkan ke Indonesia. Sementara orang tua mencari cara agar Howard bisa kembali ke Amerika. Howard merasa amat kecewa. Bukan pada dirinya. Namun karena sekali lagi ia harus tinggal jauh dari orang tua.
Berkat usaha orang tua, Howard bisa kembali ke rumahnya di San Bruno, Amerika Serikat. Kali ini Howard tak dapat mengelak lagi ketika dia diminta melanjutkan pendidikan di sebuah sekolah asrama. Orang tua Howard mungkin tak akan menyangka keputusannya ini berakibat sangat fatal bagi kehidupan putra sulungnya. Kehidupan berjalan mundur bagi Howard. Merasa bebas, kali ini ia tertantang untuk menjadi populer di sekolah. Caranya yaitu dengan bergabung di geng sekolah. Howard mulai berkenalan dengan obat-obatan terlarang seperti ganja dan kokain. Tak hanya sebagai pemakai, ia juga menjual barang itu ke pecandu lain di lingkungan sekolah.
“Geng saya kalau ke sekolah pakai mobil bagus, pacar cantik-cantik . Setiap malam minggu kami pasti pergi ke klub malam dan berpesta. Dan terutama mereka punya akses ke obat-obatan. Menurut saya waktu itu, pakai narkoba adalah tindakan paling keren yang pernah saya lakukan seumur hidup,” ujar Howard. Belum lama berkenalan dengan narkoba, Howard sudah kena pengaruh buruknya. Pengaruh obat membuatnya gampang emosi sehingga ia kerap terlibat perkelahian. Ia pun harus kembali berurusan dengan kepolisian. “Di bawah pengaruh obat saya berantem sama teman sambil nodong pakai pisau. Karena dinilai membahayakan nyawa orang untuk pertama kali saya masuk penjara anak di San Fransisco.”
Jerat narkotika makin erat membelit Howard, membuatnya makin liar. Howard tidak lulus kuliah, ia juga kembali bergabung ke dalam Geng Crips. Di antara geng jalanan tertua dan paling terkenal di AS, Crips merupakan salah satu yang paling berbahaya. Geng yang sudah terbentuk sejak tahun 1969 oleh seorang pemuda bernama Raymond Washington ini terlibat dalam berbagai kejahatan. Seperti perdagangan narkoba, perampokan, pemerasan, prostitusi hingga pembunuhan. Pembantaian antara sesama anggota kerap tak terelakan. Kejar-kejaran dan baku tembak dengan polisi jadi makanan sehari-hari. Howard akui bahwa perbuatan yang mereka lakukan amat tidak terpuji namun baginya, mereka lah keluarga. Di geng itu, Howard baru mengenal arti keluarga sesungguhnya, yang saling melindungi dan saling memperhatikan jika salah satu anggota sedang terlibat masalah.
“Geng ibarat rumah pertama buat saya, bukannya keluarga. Makanya meski sudah keluar penjara saya tetap aja masuk ke dalam geng,” kata Howard. Apalagi, geng membuat Howard lumayan kaya buat pemuda seumuran dia. “Dari semua kegiatan ilegal, saya bisa dapat 8-11 ribu dollar per bulan tanpa kerja formal. Saya bisa beli apa pun. Buat fun, karaoke dan judi. Walaupun jadi bandar, polisi nggak pernah curiga. Karena kemana-mana saya pakai mobil mewah, pakaian rapi. Padahal kalau dibuka kap mobil saya isinya narkoba sama pistol semua,” ungkapnya.
Hidup bergelimang harta, Howard tak pernah merasa aman. Ia tak pernah keluar tanpa membawa senjata tajam atau pistol dalam sakunya. Kehidupan di atas awan Howard pun tak bertahan lama. Bergaul menjadi anak geng, Howard kembali harus berurusan dengan polisi. Ia kembali ditangkap saat hendak melarikan diri dengan meminjam mobil milik sang ayah.
Hidup Howard terlihat begitu kacau. Namun bukan berarti ia tak pernah bekerja dengan cara yang halal. Sekembalinya dari dalam penjara, Howard sempat membantu usaha keluarga yang membuka pabrik kecil pembuatan sarung tangan. Keuntungannya ia manfaatkan untuk membuka usaha bengkel mobil. Usaha itu sebenarnya cukup sukses sampai Howard mampu membeli sebuah mobil mewah keluaran Mercedes. Tapi hidup dia saat itu memang susah jauh dari narkoba. Di area lingkungan pertemanan Howard yang tak jauh dari pesta dan judi, ia kembali mendapat tawaran berjualan narkoba. Kali ini tawarannya sangat besar. Howard tak sanggup menolaknya.
“Transaksinya saat itu ratusan kilo. Bayangkan berapa jumlah uang yang bisa saya dapatkan dari sana. Tapi saat itu salah satu teman dekat sesama pengedar mati ditembak polisi. Padahal saya kenal dia paling lihai melarikan diri,” ujar Howard. Kejadian itu membuat Howard terpukul. Ia segera membatalkan transaksi yang sudah matang. Howard menjadi lebih sering berdiam diri di rumah. Ia juga mengurangi pemakaian narkoba.
Namun tekad bulat Howard bertobat baru muncul ketika untuk ketiga kalinya ia dijebloskan ke dalam penjara. Kali ini kasusnya penyerangan terhadap salah satu anggota saudaranya. Howard terpicu emosi ketika disindir mengenai latar belakangnya sebagai pecandu narkoba. Ketika itu ia sedang menanyakan kejelasan status rumah orang tuanya di Jakarta kepada sang bibi. Dia dijebloskan ke penjara San Quentin dan sempat beberapa kali dipindahkan karena terlibat dalam pertengkaran. Menjalani hari di penjara Amerika yang lebih ketat peraturannya ini bagi Howard ibarat hidup di neraka.
“Terakhir saya dipindahkan ke penjara High Desert State di Nevada. Penjaranya sempit dan penuh sesak. Mental kita yang dibikin gila. Kami dikurung terus dalam sel 24 jam sehari. Seminggu cuma boleh keluar dua kali itu pun cuma 1 jam. Kalau nggak kuat bisa gila. Saya aja nggak dikasih gila sama Tuhan,” ujar Howard yang pernah masuk dalam sekte agama sesat di Amerika.
Setelah mendapatkan vonis deportasi, Howard lebih banyak merenungkan hidupnya yang kacau. Beruntung keluarga Howard tak meninggalkannya. Mereka masih menjenguk Howard. Setidaknya seminggu sekali. “Saya banyak berpikir di penjara...Semua perbuatan yang saya lakukan nggak ada faedahnya. Everything that you build goes back to zero. Uang yang kamu cari bisa dibilang almost zero. My life doesnt mean anything. Orang look down on you,” katanya.
Seorang diri di Jakarta di usia 34 tahun dan harus memulai kehidupan dari nol bagi Howard sangat menakutkan. Tak banyak uang tersisa di tabungan sejak terakhir ia dipenjara selama dua tahun. Beruntung Howard memiliki beberapa kenalan penyanyi tanah air. Ia pun sempat mendapat tawaran bekerja sebagai pemain sinetron. Belakangan Howard baru menemukan panggilan hidupnya yang lain. Howard rajin memberikan kesaksian hidupnya di hadapan para narapidana di rumah tahanan.
Ia berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya untuk memberikan motivasi. Uang tabungan yang ia gunakan untuk kebutuhan kunjungan ke lapas pun mulai menipis. Ia pun putar otak agar dapat berbagi kisah sekaligus mengumpulkan uang untuk melanjutkan kehidupan. Howard lantas menerbitkan buku perjalanan hidupnya yang ia beri judul Return. Sejak dideportasi pada tahun 2014, kiprah Howard mulai terdengar di kalangan motivator Indonesia. Ia pun mendapatkan kesempatan satu panggung dengan 30 motivator ternama dalam sebuah program acara televisi. Beberapa diantaranya diantaranya Merry Riana, Tung Desem Waringin dan James Gwee.
“Bayangkan saja seorang yang tidak lulus sekolah, mantan napi, narkoba, bandar, gengster, bisa berada satu panggung terpilih menjadi 30 motivator itu luar biasa. Apa para pemakai yang dipenjara nggak akan bangkit? Ini bukan untuk kesombongan tapi berlomba untuk berkarya,” kata Howard yang juga menguasai bahasa Spanyol dan Mandarin.
Langit cerah menyambut kedatangan pesawat Singapore Airlines di landasan pacu Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Pesawat jenis boeing 777-300 ER itu baru saja tiba dari Los Angeles, Amerika Serikat. Seorang pria berperawakan kecil duduk di barisan paling belakang. Di kala penumpang lain bergegas keluar, sedikit pun ia belum beranjak dari kursi. Sudah 24 tahun menetap di negeri paman sam, seharusnya Howard Kam gembira karena bisa kembali ke kampung halamannya. Namun lagi-lagi ia memandang ke arah jendela dengan tatapan sendu. Meski matahari begitu terik, ada awan gelap menyelimuti hati Howard.
Pria yang lebih dikenal dengan nama Michael Howard tidak melakukan perjalanan seorang diri. Ia diapit oleh dua pria bule berperawakan tinggi besar. Mereka merupakan aparat keamanan dari U.S. Marshals yang ditugaskan untuk memastikan Howard sampai di Indonesia. Howard bukanlah penumpang biasa. Di balik jaket kulit hitam yang ia kenakan, kedua tangannya dibelenggu borgol berwarna perak. Jaket itu sekaligus menutupi tato disekujur lengan Howard. Kedatangannya kali ini tidak pernah ia rencanakan. Howard diusir dari Amerika Serikat oleh pengadilan karena tindakan kriminal yang sudah sangat keterlaluan. Penegak hukum di Amerika enggan mengampuni dosa Howard dan menjatuhkan hukuman deportasi. Sehingga Howard tidak lagi diizinkan untuk kembali ke negara adidaya itu.
“Orang lain ingin banget ke Amerika dan tinggal di sana. Sampai bela-belain jadi imigran gelap. Saya udah di situ malah harus dideportasi. Saya nggak hanya dipenjara tapi kehilangan status di Amerika. Seumur hidup pun saya nggak akan bisa kembali ke Amerika. Itu penyesalan saya,” kata Howard kepada SHIOULAR saat ditemui beberapa waktu lalu.
Howard dibesarkan di tengah keluarga dengan disiplin dan keras. Sang ayah tak bisa terima jika Howard melakukan sedikit pun kesalahan. Howard memiliki seorang adik perempuan. Namun ia lebih sering menjadi bulan-bulanan kemarahan Ayahnya. Ayah Howard tak akan segan menghukum dan memukulnya jika ia berbuat nakal apalagi membangkang.
Itulah mengapa Howard tak bisa menolak ketika ia dikirimkan ke sebuah sekolah asrama di Kota Batu, Jawa Timur. Meski dalam hati ia sangat keberatan. Apalagi setelah satu tahun Howard tak pernah sekalipun dikunjungi. Ia begitu iri dengan teman sebayanya. Orang tua mereka bahkan rela terbang jauh hanya untuk bercengkerama dengan anaknya.
Geng ibarat rumah pertama buat saya, bukan keluarga”
Michael Howard, mantan gangster dan bandar narkoba di Amerika
Bukan tanpa alasan orang tua Howard mengirimkan anaknya ke asrama. Mereka ingin agar Howard dapat tumbuh menjadi anak sulung yang kuat dan mandiri. Namun Howard kecil yang usianya belum genap 10 tahun belum bisa memahami bentuk kasih sayang orang tua yang tak biasa. Lambat laun tumbuh perasaan bahwa Howard dibuang dan tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya. Pemikiran itu ia terus tumbuh hingga Howard diboyong keluarganya untuk pindah ke San Fransisco.
“Saya sudah terlanjur berpikir negatif kepada orang tua. Mereka sangat sibuk mengurus bisnis keluarga jadi tidak ada waktu untuk anaknya. Begitu pula ketika saya pindah ke Amerika tidak banyak yang berubah. Tetap aja saya merasa terbuang dan kesepian,” ujar Howard.
Di Amerika, nasibnya sama saja. Orang tuanya kembali mendaftarkannya di sekolah bersistem asrama. Kali ini Howard bersikeras menolak. Hasilnya tidak sia-sia, Howard dimasukan ke sekolah biasa di Parkside Middle School. Namun benih pemberontakan sudah terlanjur tumbuh. Waktunya di sekolah Howard gunakan untuk menunjukan jati diri. Ia merasa sebagai remaja hebat dan tak terkalahkan. Akibat emosi yang menggebu, bercandaan sepele berubah menjadi adu jotos. Yang menjadi korban ialah teman sebangkunya. Ia terluka sehingga harus dirawat di rumah sakit. Karena cedera serius, di usianya menuju 13 tahun, Howard harus menanggung tuduhan penganiayaan sehingga ia harus dipulangkan ke Indonesia. Sementara orang tua mencari cara agar Howard bisa kembali ke Amerika. Howard merasa amat kecewa. Bukan pada dirinya. Namun karena sekali lagi ia harus tinggal jauh dari orang tua.
Berkat usaha orang tua, Howard bisa kembali ke rumahnya di San Bruno, Amerika Serikat. Kali ini Howard tak dapat mengelak lagi ketika dia diminta melanjutkan pendidikan di sebuah sekolah asrama. Orang tua Howard mungkin tak akan menyangka keputusannya ini berakibat sangat fatal bagi kehidupan putra sulungnya. Kehidupan berjalan mundur bagi Howard. Merasa bebas, kali ini ia tertantang untuk menjadi populer di sekolah. Caranya yaitu dengan bergabung di geng sekolah. Howard mulai berkenalan dengan obat-obatan terlarang seperti ganja dan kokain. Tak hanya sebagai pemakai, ia juga menjual barang itu ke pecandu lain di lingkungan sekolah.
“Geng saya kalau ke sekolah pakai mobil bagus, pacar cantik-cantik . Setiap malam minggu kami pasti pergi ke klub malam dan berpesta. Dan terutama mereka punya akses ke obat-obatan. Menurut saya waktu itu, pakai narkoba adalah tindakan paling keren yang pernah saya lakukan seumur hidup,” ujar Howard. Belum lama berkenalan dengan narkoba, Howard sudah kena pengaruh buruknya. Pengaruh obat membuatnya gampang emosi sehingga ia kerap terlibat perkelahian. Ia pun harus kembali berurusan dengan kepolisian. “Di bawah pengaruh obat saya berantem sama teman sambil nodong pakai pisau. Karena dinilai membahayakan nyawa orang untuk pertama kali saya masuk penjara anak di San Fransisco.”
Jerat narkotika makin erat membelit Howard, membuatnya makin liar. Howard tidak lulus kuliah, ia juga kembali bergabung ke dalam Geng Crips. Di antara geng jalanan tertua dan paling terkenal di AS, Crips merupakan salah satu yang paling berbahaya. Geng yang sudah terbentuk sejak tahun 1969 oleh seorang pemuda bernama Raymond Washington ini terlibat dalam berbagai kejahatan. Seperti perdagangan narkoba, perampokan, pemerasan, prostitusi hingga pembunuhan. Pembantaian antara sesama anggota kerap tak terelakan. Kejar-kejaran dan baku tembak dengan polisi jadi makanan sehari-hari. Howard akui bahwa perbuatan yang mereka lakukan amat tidak terpuji namun baginya, mereka lah keluarga. Di geng itu, Howard baru mengenal arti keluarga sesungguhnya, yang saling melindungi dan saling memperhatikan jika salah satu anggota sedang terlibat masalah.
“Geng ibarat rumah pertama buat saya, bukannya keluarga. Makanya meski sudah keluar penjara saya tetap aja masuk ke dalam geng,” kata Howard. Apalagi, geng membuat Howard lumayan kaya buat pemuda seumuran dia. “Dari semua kegiatan ilegal, saya bisa dapat 8-11 ribu dollar per bulan tanpa kerja formal. Saya bisa beli apa pun. Buat fun, karaoke dan judi. Walaupun jadi bandar, polisi nggak pernah curiga. Karena kemana-mana saya pakai mobil mewah, pakaian rapi. Padahal kalau dibuka kap mobil saya isinya narkoba sama pistol semua,” ungkapnya.
Hidup bergelimang harta, Howard tak pernah merasa aman. Ia tak pernah keluar tanpa membawa senjata tajam atau pistol dalam sakunya. Kehidupan di atas awan Howard pun tak bertahan lama. Bergaul menjadi anak geng, Howard kembali harus berurusan dengan polisi. Ia kembali ditangkap saat hendak melarikan diri dengan meminjam mobil milik sang ayah.
Hidup Howard terlihat begitu kacau. Namun bukan berarti ia tak pernah bekerja dengan cara yang halal. Sekembalinya dari dalam penjara, Howard sempat membantu usaha keluarga yang membuka pabrik kecil pembuatan sarung tangan. Keuntungannya ia manfaatkan untuk membuka usaha bengkel mobil. Usaha itu sebenarnya cukup sukses sampai Howard mampu membeli sebuah mobil mewah keluaran Mercedes. Tapi hidup dia saat itu memang susah jauh dari narkoba. Di area lingkungan pertemanan Howard yang tak jauh dari pesta dan judi, ia kembali mendapat tawaran berjualan narkoba. Kali ini tawarannya sangat besar. Howard tak sanggup menolaknya.
“Transaksinya saat itu ratusan kilo. Bayangkan berapa jumlah uang yang bisa saya dapatkan dari sana. Tapi saat itu salah satu teman dekat sesama pengedar mati ditembak polisi. Padahal saya kenal dia paling lihai melarikan diri,” ujar Howard. Kejadian itu membuat Howard terpukul. Ia segera membatalkan transaksi yang sudah matang. Howard menjadi lebih sering berdiam diri di rumah. Ia juga mengurangi pemakaian narkoba.
Namun tekad bulat Howard bertobat baru muncul ketika untuk ketiga kalinya ia dijebloskan ke dalam penjara. Kali ini kasusnya penyerangan terhadap salah satu anggota saudaranya. Howard terpicu emosi ketika disindir mengenai latar belakangnya sebagai pecandu narkoba. Ketika itu ia sedang menanyakan kejelasan status rumah orang tuanya di Jakarta kepada sang bibi. Dia dijebloskan ke penjara San Quentin dan sempat beberapa kali dipindahkan karena terlibat dalam pertengkaran. Menjalani hari di penjara Amerika yang lebih ketat peraturannya ini bagi Howard ibarat hidup di neraka.
“Terakhir saya dipindahkan ke penjara High Desert State di Nevada. Penjaranya sempit dan penuh sesak. Mental kita yang dibikin gila. Kami dikurung terus dalam sel 24 jam sehari. Seminggu cuma boleh keluar dua kali itu pun cuma 1 jam. Kalau nggak kuat bisa gila. Saya aja nggak dikasih gila sama Tuhan,” ujar Howard yang pernah masuk dalam sekte agama sesat di Amerika.
Setelah mendapatkan vonis deportasi, Howard lebih banyak merenungkan hidupnya yang kacau. Beruntung keluarga Howard tak meninggalkannya. Mereka masih menjenguk Howard. Setidaknya seminggu sekali. “Saya banyak berpikir di penjara...Semua perbuatan yang saya lakukan nggak ada faedahnya. Everything that you build goes back to zero. Uang yang kamu cari bisa dibilang almost zero. My life doesnt mean anything. Orang look down on you,” katanya.
Seorang diri di Jakarta di usia 34 tahun dan harus memulai kehidupan dari nol bagi Howard sangat menakutkan. Tak banyak uang tersisa di tabungan sejak terakhir ia dipenjara selama dua tahun. Beruntung Howard memiliki beberapa kenalan penyanyi tanah air. Ia pun sempat mendapat tawaran bekerja sebagai pemain sinetron. Belakangan Howard baru menemukan panggilan hidupnya yang lain. Howard rajin memberikan kesaksian hidupnya di hadapan para narapidana di rumah tahanan.
Ia berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya untuk memberikan motivasi. Uang tabungan yang ia gunakan untuk kebutuhan kunjungan ke lapas pun mulai menipis. Ia pun putar otak agar dapat berbagi kisah sekaligus mengumpulkan uang untuk melanjutkan kehidupan. Howard lantas menerbitkan buku perjalanan hidupnya yang ia beri judul Return. Sejak dideportasi pada tahun 2014, kiprah Howard mulai terdengar di kalangan motivator Indonesia. Ia pun mendapatkan kesempatan satu panggung dengan 30 motivator ternama dalam sebuah program acara televisi. Beberapa diantaranya diantaranya Merry Riana, Tung Desem Waringin dan James Gwee.
“Bayangkan saja seorang yang tidak lulus sekolah, mantan napi, narkoba, bandar, gengster, bisa berada satu panggung terpilih menjadi 30 motivator itu luar biasa. Apa para pemakai yang dipenjara nggak akan bangkit? Ini bukan untuk kesombongan tapi berlomba untuk berkarya,” kata Howard yang juga menguasai bahasa Spanyol dan Mandarin.
Tidak ada komentar